Senin, 18 Oktober 2010

DWI UTAMI ZULIAWATI (Kisah Kasih Sayang Enam Makhluk Bumi dalam Sangkar Pelangi) PART 3

Entah sejak kapan aku benar-benar menyadari eksistensinya di dunia. Mungkin sejak aku berada di dalam kost yang sama dengannya Agustus 2006 silam. Kost Inori 3. Padahal kami berada di sekolah yang sama ketika SMA. Bayangkan! Tiga tahun kami bersama! Namun aku baru sadar kalau dia ada tiga tahun setelahnya. Entah apa yang menutup mataku akan keberadaannya. Kelas di grade XI dan XII pun kami pun berdampingan. Nah lho??? Apa yang membuatku tidak mengenal bahkan sampai tidak sadar kalau dia ada? Apa mungkin latar belakang SMP kami yang membuat gap diantara kami? Aku memang sedikit menutup diri dan pilih-pilih dalam berteman. Dan aku hanya suka saling sapa dengan teman-temanku dari sekolah yang sama denganku di SMP dulu. Selain itu, lokasi kelas kali yang nun-jauh terpisah juga membuat kami bahkan belum pernah bertegur sapa selama 3 tahun bersama. Wew…kelasku X3 di pojok utara. Sedangkan cewek yang bernama Dwi Utami Zuliawati ini masuk ke dalam warga kelas X8, kelas pojok selatan.
Dwi Utami Zuliawati. Zuli. Nama yang aneh. Kenapa harus pakai “z”? Orang kebanyakan pasti akan memakai huruf “y” pada nama itu. Dwi Utami Yuliawati. Tapi dia selau menolak jika ada yang memanggilnya dengan huruf “y”. Aku suka aksen orang-orang dalam menyebut huruf “z” pada namanya. Zuli. Namun aku tidak pernah memanggilnya dengan nama itu. Aku lebih suka memanggilnya Juli. Pakai “j”. Alasannya adalah karena aku menyukai nama “Julian”, salah satu tokoh dalam buku Lima Sekawan favoritku. Saudara-saudaranya: Dick, Anne, dan George, memanggilnya dengan panggilan “Ju”. Oleh karena itulah aku menyebut cewek ini dengan nama “Juli”, bukan “Zuli” ataupun “Yuli”. Dan sampai detik inipun Zuli tidak pernah keberatan aku memanggilnya dengan sebutan “Juli”.
Pada awal kebersamaanku dengan Juli di Solo, aku tidak begitu peduli dengannya. Aku hanya care dengan anggota sesama komunitas Sosro, sebutan untuk eks kelasku yang berarti Sosial Loro. Meskipun sama-sama berasal dari kelas Sosial yang hanya terdiri atas Sosial Satu dan Sosial Dua, watak dan karakter kelas kami sangatlah berbeda. Kelasnya identik dengan kelas anak-anak yang rajin, pendiam, dan penurut. Sedangkan kelasku adalah kelompok dari sekumpulan anak-anak badung yang hobi telat, bolos, dan mangkir les+pengayaan hanya untuk membeli segelas es di alun-alun kota. Well…keren sekali kan kelaslu ini? Kelasku bahkan pernah diusir dan dipindahkan ke Lab Fisika yang jauh dari peradaban manusia karena suka sekali membuat gaduh. Ada saja yang suka ribut di kelas. Ada yang bernyanyi-nyanyi kencang seperti Giant dif lm kartun Doraemon, ada yang hobi berlarian di dalam ruangan, bahkan ada yang senang sekali membuat riang ruangan dengan cara menginjak botol minuman ringan untuk mendengarkan sensasi suara “duarrrr” di kelas. Padahal sebelah kelasku dulu adalah Ruang Kepala Sekolah. Walhasil, kelas kami kadang serasa dikucilkan oleh para civitas akademika di SMA N 1 Purworejo karena anggota kelas yang bisa dibilang “hancur”. Namun kami tidak pernah peduli. Yang penting kami bahagia. Sipp. Pertahankan!
Jarang terjadi komunikasi antar warga IPS 1 dan IPS 2 pada zaman kami. Aku juga jarang menyambangi kelas sebelah itu. Paling-paling aku hanya meluangkan waktuku lima menit untuk menemui Nita dan Agata, dua temanku di IPS 1 yang berasal dari eks-X3. Dan dalam kunjungan-kunjunganku aku tidak pernah menemui sosok bernama Zuli. Namun tenyata Zuli menyadariku. Hal ini dia ungkapkan ketika kami telah tingaal satu atap di Kost INORI 3 tercinta.
“Aku belum pernah melihatmu waktu aku SMA dulu” kataku dengan nada bicaraku yang datar dan kaku. Aku memang bukan termasuk orang yang bisa beramah-tamah. Aku lebih suka bicara seperlunya. To the point. Kadang ceplas ceplos. Kata temanku kadang kalimatku menyakitkan. Namun aku tidak pernah berniat demilian. Nada bicara dan akspresiku kan memang kayak robot.
“Aku sering melihatmu” katanya sambil tersenyum. Sanyumnya manis, menurutku.
“Kapan?” tanyaku.
“Kita kan berjejeran kelas selama dua tahun. Jadi aku sering melihatmu. Sering kita berpapasan ketika kita berjalan di teras sekolah. Aku kan sering jalan bareng Ines atau Nita atau Agata. Namun yang kamu sapa hanya mereka saja. Kamu bahkan tidak melirikku” katanya, tersenyum lagi.
Tiba-tiba aku tertawa.
“Huahaha. Apa iya sih?” aku masih tidak percaya. Dalah hati aku masih bertanya-tanya, sedalam apakah penyaikit soliterku ini sampai aku bahkan tidak sadar telah sering menyakiti oranglain.
“Apa kau tidak tersinggung kalau aku begitu?” tanyaku lagi.
“Tentu saja aku tersinggung” jawabya “Aku merasa seolah menjadi manusi tak kasat mata bagimu, yang tak dianggap, dan semacamnyalah. Tapi lama-lama ya sudahlah” nada bicaranya berubah menjadi pasrah ketika dia mengucapkan akhir kalimat.
Well. Aku masih tidak peduli. Bukan aku namanya kalau aku berubah gara-gara dikritik atau diperingatkan orang lain. Minggu-minggu bahkan bukan-bulan berikutnya yang kami lalui masih tetap sama. Aku masih tetap jarang menyapanya walaupun sudah hampis setaun kami tinggal satu atap di kost yang sama. Aku masih lebih suka menghabiskan waktuku dengan Wulan, Reni, Rini, dan Irna, teman-temanku yang berasal dari IPS 2 yang juga sekarang tinggal di kost INori 3.
*****
Aku tidak menyadari sejak kapan aku mulai bersahabat dengannya. Mungkin sejak dia sakit, dan aku yang merawatnya. Atau mungkin sejak aku sakit dan dia merawatku. Yang kutahu sekarang kami dekat sekali. Sekarang dia hobi sekali menyatroni kamarku yang terletak di pojok deret. Sering dia hanya memanggil-manggil namaku dari luar kamar hanya untuk memastikan aku ada di kost. Aku pun sering kali menggedor-gedor pintu kamarnya di malam-malam aku tidak bisa tidur. Atau aku juga sering berteriak-teriak di kamarnya sepulang kuliah hanya karena aku berpapasan dengan Mas ganteng 1, karyawan fakultas yang kutaksir sejak aku pertama menginjakkan kaki di UNS tercinta.
Kami sudah seperti saudara. Sulit sekali menemukan orang yang cocok denganku. Yeah…mengingat egoku yang sangat tinggi. Mengingat aku yang suka marah-marah seenaknya. Heran aku kenapa dia betah berlama-lama denganku. Ketika wisuda-ku, dia bahkan rela sampai tidak ganti baju untuk menungguiku. Waktu itu baru pukul 9. Namun kupikir wisuda sudah akan selesai. Lalu kuSMS dia:
“Ju, meh rampung. Bar iki pindah ke fakultas. Jemput.”
Padahal wisuda universitas beru selesai 1,5 jam setelahnya. Wkwkwk. Kasian dia. Aku baru tahu kalau dia bahkan tidak sempat ganti baju karenaku. Ehm…tahukah kalian kenapa aku begitu mempersoalkan baju ini? Jawabnya adalah karena baju itu, baju ungu yang seharian dipakainya untuk menemaniku di wisudaku, adalah baju yang sudah dipakainya sehari sebelumnya dan dipakai juga ketika dia TIDUR pada malam harinya. Wew..dia payah kan? (Tapi bagi kalian bagi para cowok yang punya kemungkinan untuk menyukai sahabatku yang bernama Juli ini, jangan pernah ragu. Bukankan ini adalah suatu bukti kalau dia rela melupakan penampilannya hanya karena dia tidak mau membuat aku, sahabatnya yang judes dan menyebalkan ini, menunggu? Kalau dia jadi istrimu, pastilah dia akan memperlakukanmu dengan sangat baik. She is 100% guaranteed)
Aku mengagumi Zuli. Dia adalah sosok yang rajin dan pandai. Rajin. Satu kata yang tidak kupunya. Berbeda jauh denganku, dia adalah seorang wanita yang tahu apa maunya. Segala yang terjadi pada hidupnya adalah segala hal yang dia inginkan. Sangat berbeda denganku yang hanya pasang target sekenanya. Prinsipnya sangat kuat, tidak pernah goyah meskipun orang lain berkata lain. Berbeda 180 derajat denganku yang masih suka bingung seperti nenek-nenek kebakaran jenggot ketika ada saja yang tidak sependapat denganku (memangnya da nenek yang punya jenggot?).
Urusan cowok, dia oke. Dia sangat teguh pendirian tidak akan pernah mau pacaran dengan orang yang tidak disukainya. Pernah dia disukai oleh seseorang bernama Hendra. Dia adalah seorang mahasiswa Komunikasi yang sangat cerdas. Visi ke depan yang dimilikinya sangat bagus. Masa depannya juga kurasa bakal cerah karena dia adalah seorang pekerja keras. Wajahnya juga Oke. Namun Juli bilang tidak padanya hanay karena dia masih menyukai seorang teman lamanya. Melegakan sekali karena pada ending-nya dia bisa bersama dengan pangeran idamannya itu.
Begitu baiknya Juli di mataku. Rasanya tidak ikhlas kalau melihatnya menangis karena merasa tersakiti, seperti yang terjadi akhir-akhir ini. Aku tidak rela dia merasa terluka seperti itu. Aku tidak mengerti kenapa kebanyakan wanita itu menangis. AKU tidak begitu. Jarang sekali aku menitikkan airmata. Namun Juli, dia menangis setiap malam karena ………………………………………. Aku tidak berani memberi saran atau apa. Yang kulakukan ketika dia tersedu-sedu hanyalah diam. Hatiku berontak. Ingin kunasehati dia. Tapi nasehat macam apa yang bias diberikan teman tak berguna macam aku? Yang ada malah nanti aku mengacaukan segalanya. Aku tidak tahu apa-apa. Feelingku kan tidak pernah tepat. Dan aku mati rasa untuk segala hal yang berkenaan dengan hati.
Kondisinya saat ni benar-benar parah. Tubuhnya sudah seperti zombie saja menurutku. Cantik. Namun tidak segar karena setiap malam selalu menguras airmata. Kurus, karena tidak pernah mau memenuhi kebutuhan vitalnya sebagai manusia, makan. Ya kan kayak zombie? Gak pernah makan. Ketika aku menemukan sebuah lagu berjudul Lucky milik Britney Spears, Juli langsung meng-claim lagu itu adalah lagu kebangsaannya. Menurutku juga iya.
"She's so lucky, she's a star
But she cry, cry, cries in her lonely heart, thinkin'
'If there's nothing missing in my life
Then why do these tears come at night?'"
Well, dia memang seperti itu. Cantik. Manis. Cerdas. Dan punya segalanya. Namun kenapa masih terus ada tangis di dalam hidupnya? Sampai kapan aku bisa menemani isak tangis di setiap malam-malam kelamnya? Dulu aku sering mengatakan kalau aku adalah sosok tegar yang tidak pernah tergoyahkan, tidak pernah menangis karena masalah apa pun. Namun malam ini, di depan tubuh Juli yang sedang terbaring terlelap dalam mimpi entah apa dengan kedua mata sembab setelah menumpahkan bertetes-tetes airmata, aku menangis. Tahukah kamu Juli? Tangis ini adalah karenamu. Aku juga ternyata hanya seorang manusia biasa. Kau benar. Seperti katamu, aku adalah wanita yang tidak bisa jauh dari yang namanya airmata. Dan aku tidak tahan melihatmu terus seperti ini. Aku kalah. Tapi untuk terakhir kalinya aku mohon, berhentilah menyakiti dirimu sendiri seperti ini,…Juli.

Wastuti Ariyani (Kisah Kasih Sayang Enam Makhluk Bumi dalam Sangkar Pelangi) PART 4

“Apa kamu sudah putuskan?” tanyanya sambil memutar-mutar handphone di tangan. Dari nada suaranya, sudah jelas terdengar kalau dia sedang gelisah. Kemudian dia menggeser posisi duduknya dari di sebelahku ke palang pembatas teras di depanku. Waktu itu pukul 16.00 lebih. Semua teman kuliah kami sudah pulang. Hanya tinggal kami berdua yang duduk gelisah, berunding di depan ruang Tata Usaha Gedung E FKIP UNS.
“Aku tidak bisa memutuskan” kataku sambil membungkuk, memunguti remah-remah roti bakar yang baru saja kumakan. Meskipun terkesan lebih tenang dari dia, hatiku tidak dapat berbohong. Hampir seminggu ini aku tidak dapat tidur nyenyak hanya karena mencari jawaban dari pertanyaan ini.
“Gimana to Kris? Siapa yang seharusnya kita pilih?” tanyanya lagi, memberi sedikit penekanan ketika dia memanggil namaku. Diantara teman-teman kuliahku, hanya temanku Lusi dan dia yang memanggilku dengan panggilan “Kris”.
“Sebenarnya Bu Dewi sudah menawariku, Mbak” jawabku dengan nada kalimat separuh menggantung.
“Bu Dewi siapa?” tanyanya, matanya melirik ketika aku mengucapkan salah satu nama dosenku itu.
“Bu Dewi. Dra Dewi Rochsantiningsih, M. Ed, Ph. D” kataku.
“Kamu yakin mau memilih beliau?” tanyanya. Bibirnya merengut, tidak yakin dengan jawabanku.
“Aku kan cuma ditawari beliau, tapi aku sendiri tidak yakin. Kau tahu kan? Beliau jenius. Lulusan Australia. Super smart. Padahal kemampuan kita hanya seperti ini.” Tiba-tiba aku terduduk lemas, membayangkan kami dimarahi Bu Dewi. Padahal Bu Dewi sangat baik. Beliau tidak pernah marah di kelas. Namun kami, para mahasiswa bodoh ini, kadang sering merasa takut kalau sampai tidak dapt menjawab pertanyaan yang beliau berikan, apalagi sampai dibimbing oleh beliau. Huh, sungguh tak terbayangkan. (Aku sungguh-sungguh berlebihan. He.)
“Jangan Bu Dewi lah…” tambahnya.
“Aku sudah menentukan Pembimbing duanya.” Kataku
“Siapa?” yanyanya antusias.
“Pak Asrori.” Jawabku.
“Kamu yakin?”
“seratus persen.”
“Tapi aku belum pernah ikut kelasnya.”
“Aku pernah ikut kelasnya dua semester. Dan dia sungguh Oke. Sangat baik. Sebenarnya tidak ada dosen kita yang tidak baik, tapi Pak Asrori ini sungguh kebapakan. Aku bahkan tahan certita berjam-jam dengan beliau.” Jawabku mantap.
“Ya sudah. Aku ikut denganmu” timpalnya.
“Terus siapa pembimbing pertama kita?” tanyaku, sedikit emosi dan ingin menangis karena sudah hampir dua minggu ini kami belum jua mengambil keputusan.
“Entahlah” Jawabnya lemah.
Kami mulai berdebat mengenai siapa yang sebaiknya kami pilih sebagai pembimbing skripsi. Kami masih di awal semester 6, belum waktunya memngambil skripsi. Namun kami punya target untuk lulus di semester 7, jadi kami sudah harus mulai memikirkan skripsi sedini mungkin jika ingin cita-cita ini terealisasi. Mungkin mahasiswa lain masih belum sama sekali terpikir untuk megerjakannya., tapi kami sudah ingin menyudahi studi ini. Alasanku adalah karena ku tidak kerasan tinggal di Solo, tempat aku menuntut ilmu ini. Dan alasan Mbak Wastuti, cewek yang sedang berdebat denganku ini adalah karena dia sudah berhenti kuliah setahun. Jadi lulus cepat adalah cara yang dipilihnya untuk membayar keterlabatan usahanya untuk mendaptkan gelara sarjana ini.
“Kau sudah yakin dengan keputusan ini? Tanyanya.
“Yakin. Final. Bulat.” Kataku.
“Yakin?” ulangnya.
“Sebenarnya tidak terlalu yakin” jawabku sambil nyengir.
“Terus gimana?” tanyanya lagi.
“Ya sudah belaiu saja. Prof Dr Joko Nurkamto, M Pd” kataku.
“Wew wew wew. Mantap. Keren sekali kalau di skripsi kita nanti terpampang nama beliau sebagai pembimbing utama kita. Belum lagi ilmu yang akan kita dapat dari beliau.” Ujarnya sambil tersenyum.
“Iya. Dan keren sekali kalau kebodohan kita bakal sering terlihat di depan semua mahasiswa S1 dan S2. Kau kan tahu bagaimana model bimbingannya. Sekali bimbingan lamngsung rapel 15 orang. Kalau sampai kita gak bisa jawab pertanyaanya, payah bo…” Kataku
“Apa kita ganti saja? Dosen kita yang baik-baik dan mudah meluluskan skripsi kn banyak…” katanya, ikut ragu.
“Tidak tidak tidak. Aku mau Prof Joko saja.” Aku menggeleng-gelengkan kepala ketika dia mengusulkan untuk ganti pembimbing.
“Ya sudah. Pak Joko. Dan Pak Asrori. Deal?” ttanyanya.
“Deal” jawabku. Lalu kami berhigh five, bersalaman, dan pulang.
Satu bulan berikutnya aku dipusingkan karena judulku tidak juga di-ACC oleh pembimbing pertama skripsi kami, Prof Joko. Padahal mbak Was susah disetejui pada awal kali pertama dia mengajukan judul. Wew. Aku stress.
Dua minggu kemudian judulku ACC. Sekarang giliran mbak Was yang pusing karena diminta Pak Prof untuk membuat framework penelitiannya. Yang membuat dia pusing adalah karena dia tidak mengerti framework seperti apa yang diinginkan professor jenius itu. Berkali-kalu dia mengajukan konsep, tapi belum juga benar. Hehehe. Saat itu aku bias tertawa-tawa karena skripsiku tidak dineko-neko oleh pembimbing.
Dua bulan selanjutnya kami off mengerjakan skripsi. Tenang. Aku akan selalu mengingat masa-masa itu, masa ketika kami bebas tugas dan bebas tekanan mental karena terpaksa harus menghadap Prof Joko.
Satu bulan kemudian kami mulai mengerjakan proposal penelitian secara asal-asalan (terutama aku). Aku bahkan tidak mengerti apa yang aku tulis. Untung saja Prof Joko tidak begitu menggubris urusan proposal. (UNTUNG????!!!!) Begitu juga dengan Mr Asrori. Ketika aku berkata “Pak, ini proposal saya. Sudah diACC oleh Prof Joko. Tinggal meminta koreksi Bapak”. Satu minggu setelah itu, proposal kami dikembalikan Mr Asrori. Tidak ada coretamn sedikitpun dalam proposal itu. Lolos. Mungkin Mr Asrori menanggap proposal ini sudah 100% valid. Padahal tidak ada sedikitpun ilmu yang kuserap dari proposal itu. (HAGHAG!)
Dua bulan kumidian kami vakum mengerjakan skroipsi. Libur. Senangnya hatiku.
Dua bulan kemudian aku baru tahu kalau mbak Was sydah menginjak BAB 2. Pusing… aku belum sama seakale. Bab 1 ku bahkan masih terus dipertanyakan keabsahannya oleh Prof KJoko. Berkali-kali aku mngejukan Bab 1 itu, tpai selalu ditolak. Aku stress.
Satu bula kemudian aku mulai maju Bab 2. Namun Prof Joko malah tidak dapat ditemui sama sekali. Aku senakin gila. Badanku mulai kurus kering karena tidak bisa makan. Bayangan targetku tidak tercapai sudah membayangi malam-malam dalam mimpiku. Hufh.
Satu bulan, dua bulan, tiga bulan, sampai akhirnya sembilan bulan, sehingga pada ending ceritanya kami daPat meyelesaikan skripsi itu. SKRIPSI ITU! TELAH MERENGGUT NAFSU MAKANKU. TELAH MEMBUNUH SEMANGAT HIDUPKU. DAN TELAH MENURUNKAN BERAT BADANKU HINGGA 6 KILO!!!
Dari sini, dari sebuah proses panjang pembuatan skripsi yang menyiksa ini, kudapati beberapa makna hidup yang sangat berarti bersama sesosok makhluk jangkung bernama Wastuti Ariyani. Kebersamaan. Persahabatan. Dan kekeluargaan.
Dewasa. Satu kata itulah yang menggambarkan seperti apa dia ketika aku pertama kali mengenalnya. Dia ramah. Dan santun. Dia tidak termasuk dalam kategori manusia yang bisa mengumpat, memaki, atau meneriaki orang lain dengan kata-kata kasar. Dia itu anggun, kalau saja dia mau mengubah penampilannya yang tomboy menjadi sedikit fiminin.
Darinya, aku belajar banyak tentang arti kesabaran, kejujuran, dan rendah hati. Mbak wastuti adalah wanita yang sangat sabar. Berapa kali aku mengadu padanya mengenai banyak masalahku. Dan dia selalu menanggapiku dengan sabar. Ketika aku marah pada orang lain, dialah yang pertama kuberi tahu. Ketika aku dimaki-maki seseorang, dia jualah yang pertama kali tahu. Ketika aku bosan, dia yang pertama kali ku-sms.
Wastuti Ariyani. Nama itulah yang telah mengajariku apa arti sebuah hidup dalam bingkai bernama KEHANGATAN.

Kurindukan Lagi Hari-Hari Itu

Kumulai hariku dengan berat. Bukan berat karena aka nada banyak aktivitas yang menanti, tapi berat karena malas. Rasanya ada beban sebesar gunung yang menindih kedua mataku. Susah sekali dibuka. Kulilitkan lagi selimut bututku yang telah berubah warna menjadi cokelat muda karena dimakan usia.
“Huahm…” aku menguap berkali-kali.
Kupikir-pikir lagi apa yang sebaiknya kulakukan hari ini. Pekerjaan menjadi pengangguran memanglah tidak menyenangkan. Di samping karena kantong jadi terserang kanker alias kantong kering, badan-pun selalu lesu karena tidak ada aktivitas pasti yang menanti.
Iseng-iseng, kubuka file-file di computer tua-ku. Warnan layarnya tidak lagi jernih, tapi sudah buram dan ada banyak goresan di sana sini bekas kena tendangan bola adikku yang gemar main bola di dalam ruang.
Kubuka sebuah icon di desktop berjudul “daftar ppl”. Daftar ini berisi nama-nama para mahasiswa FKIP UNS angkatan 2006 yang harus magang mengajar di beberapa sekolah di Solo dan sekitarnya. Kubaca nama-nama itu satu per satu. Mario Agus Velayati. Indah Panuntun Utami. Vina Setyawinata. Dyanggih Sri Aryono. Tutur Widodo. Hantisa Oksinata. Tutut Dwi Handayani. Latif Ansori Kurniawan. Nanik. Dewi. Khitna. Suprek. Nama-nama itu begitu familiar dan melakat kuat di hatiku. Sayang sekali aku tidak bisa lagi memutar waktu hanya untuk sehari saja mengulang kejadian-kejadian di kala itu.
Kulayangkan kembali ingatanku ketika masa itu kami berdesak-desakan, berharap ditempatakan di sekolah yang dipamongi oleh guru-guru baik hati. Teringat juga saat kala itu kami berbondong-bondong berusaha menyogok petugas pembagi tempat PPL. (hehehe. MENYOGOK???) Waktu itu aku sangat berharap ditempatkan di sebuah SMP yang kata kakak tingkatku adalah SMP yang sama sekali tidak memberatkan pekerjaan mahasiswa. Namun aku, si penyogok, ditolak mentah-mentah oleh petugas. Beberapa hari kemudian, di papan pengumuman namaku malah terpampang sebagai mahasiswa yang harus magang di SMA paling favorit. Beberapa teman menyalamiku, menyatakan kebahagiaan karena aku ditempatkan di sekolah itu. Kalau muridnya pandai, otomatis kerja kita minim. Namun ada juga beberapa teman yang mengerti cengiranku, cengiran tidak bahagia karena ditempatkan di sekolah favorit berarti extra kerja keras karena harus menuruti dan memenuhi apa keinginan siswa, sekolah, dosen pembimbing, dan universitas. Bayangkan kalau saja aku sampai tidak bisa menjawab apa yang ditanyakan siswa-siswa di sekolah jenius itu. Aku kalut.
Enam bulan masa PPL yang menyiksa. Namun saat ini aku malah sangat merindukannya. Hmmhghh… kusebut masa itu sebagai “Masa Pembodohan Siswa”. Haha. Kalian tahu apa artinya??? Hehe. Aku rindu masa-masa itu…

Hmm....

hmm......

Rabu, 09 Juni 2010

MY LOVE IS BLUE???!!!

Dia, orang yang kucintai. Kandikat terkuat yang paling kuinginkan untuk menjadi suamiku. Satu-satunya pria yang sangat ingin kujadikan teman hidup yang menemani sisa usiaku. Aku begitu mengagumi sosoknya. Seleraku memang yang seperti itu. Yang kurus, yang cungkring. Hehe.
Aku menyukai semua yang ada pada dirinya. Rambut cepaknya yang kaku. Dahi lebarnya yang bersih. Hidungnya yang mancung. Bibir tipisnya yang indah. Alisnya yang tebal seperti barisan ribuan semut. Tulang rahangnya yang menonjol. Matanya yang jernih keabuan. Kulit wajahnya yang bersih seperti pualam, putih kekuningan. Semuanya. Bagiku dia sempurna. Nilai 100 untuk manusia berfisik seperti dia.
Aku suka kebiasaannya yang jarang, bahkan tidak pernah tidur. Ada sebuah pepatah yang mengatakn bahwa “orang sukses adalah orang yang sedang bekerja keras ketika orang lain sedang terlelap”. Tentu saja. Sangat masuk akal. Pantas saja kalau selama ini dia memiliki banyak hal yang tidak aku punya. Sebab utamanya tentu saja adalah karena dia masih terus bekerja ketika aku terbuai di alam mimpi.
Tidak hanya itu. Banyak sisi kehidupannya yang aku kagumi. Caranya berjalan, caranya memandang, caranya tersenyum, cara berpikirnya, semuanya! Cengirannya-pun selalu bisa membuatku tidak bisa tidur. Tidak ada yang tidak kusukai darinya. Fisik maupun mental, semuanya begitu sempurna.
Rasa cintaku padanya begitu dalam. Samudra Hindia pun mungkin tidak dapat mengalahkan dalamnya cintaku padanya. Aku belum pernah menyukai orang sampai sehebat ini. Vincent yang kutaksir sejak SD, mas kedokteran UGM yang hobi main badminton dengan sepupuku, bahkan mas Pram yang cakep itu pun tidak bisa membuat aku tergila-gila seperti ini. Mungkin memang benar kalau aku gila karenanya. Di malam hari pun, masih juga kutemukan sosoknya dalam mimpi-mimpi indah yang menyatroniku setiap malam. Setiap malam bermimpi tentangnya! Setengah tahun lalu maupun tadi malam sama saja, tetap memimpikannya!
Namun aku berada pada posisi yang salah. Aku mencintai dia di saat dia telah memiliki oranglain di hidupnya.
Aku begitu sadar kenapa dia lebih memilih aku dibandingkan dengan cewek itu. Kubandingkan diriku dengan cewek yang telah menjadi inti eksistensi hidupnya selama ini. Berbeda jauh. Bak kutup utara dan khatulistiwa. Aku kutub utaranya, dan dia yang khatulistiwa. Dia hangat. Sedangkan aku adalah manusia dingin yang tidah pernah tahu bagaiman cara mencintai seseorang dengan benar. Dia anggun. Tidak seperti aku yang berpenampilan sekenanya, terkesan tidak pedulian. Kubandingkan juga wajah kami. Dia cantik. Seperti bidadari. Sedangkan aku? Aku hanyalah cewek biasa. Cara berjalannya, cara bicaranya, sungguh menandakan kalau dia memang spesial. Mereka berdua sangat serasi, aku sadari itu. Kurasakan evidensi ini sebagai sebuah fakta yang menyakitkan. Ini sungguh tidak adil bagiku.
Rasanya ingin kupukuli saja cewek itu. Geram rasanya setiap melihat kebersamaan mereka yang sangat romantis. Bayangkan saja ketika kalian tiba-tiba melihat satu-satunya cowok yang kalian inginkan, berjalan dan bercanda berdua dengan cewek lain. Aku bahkan pernah berpikir untuk terjun ke jurang ketika siang itu kutemukan mereka sedang tertawa-tawa dalam rekaman di memori otakku. Muncul begitu saja, terus berputar-putar dalam kepalaku. Waktu itu kulihat mereka sedang duduk berdua di pinggir hutan, bercerita sambil tertawa-tawa. Aku merasa seperti patung beku ketika aku melihatnya bersama cewek itu. Cewek itu! Namun, semua berubah ketika aku melihat sosok yang sungguh kupuja. Amarahku langsung lenyap begitu aku melihatnya. Ketika kulihat tawanya, sekujur tubuhku serasa melayang. Tawanya masih tetap sama. Renyah. Dan suara tawanya tetap selalu membuatku seperti ingin mencair seperti kepingan es yang meleleh terkena hangatnya matahari. Agh….aku ingin meledak.
Semua begitu indah ketika awal aku mengenalnya. Namun sekarang semuanya berakhir sia-sia. Ini sangat menyedihkan. Membuat dadaku sesak. Aku patah hati. Kenapa aku harus mencintaniya? Kenapa harus ada pertemuan kalau pada akhirnya hanya membuat aku terluka dan hancur berkeping-keping seperti ini? Saat ini, aku merasa seperti pasir, luluh lantak tak bebentuk lagi. Tidak ada lagi senyumku, telah pudar pula semangat hidupku. Lagu Sheila on 7 yang berjudul Berhenti Berharap itu benar-benar menandakan kondisiku saat ini. “Kenapa ada derita, bila bahagia tercipta. Kenapa ada sang hitam, bila putih menyenangkan?”
*****
Dia. Dia, si penghancur hatiku ini bernama Edward Cullen. Manusia abadi yang begitu kucintai. Dia sempurna. Sayang sekali dia tidak benar-benar ada. Andai ada pun aku belum tentu mau mencintainya seperti ini. Dia kan vampire. So??? Mbuh.

Rabu, 19 Agustus 2009

ini hari sibuk benget kayaknya...